Jumat, 26 Februari 2010

Ekologi air laut-limnologi-experiment

Zakaria pratama, S.Si

A. KAJIAN TEORI

1. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan organisme akuatik (Odum, 1994). Oksigen adalah gas yang tidak berbau, tidak berwarna dan tidak berasa. Oksigen yang terlarut dalam air oleh makhluk hidup air digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya yaitu untuk metabolisme jasad air seperti respirasi. Menurut Salmin (2000) Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut.

Kelarutan O2 dalam air dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biokimia yang terjadi dalam badan air. Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu. Pada suhu tinggi maka DO akan rendah dan pada suhu rendah maka DO akan tinggi. Setiap spesies mempunyai kisaran toleransi berbeda terhadap konsentrasi DO. Spesies dengan kisaran toleransi lebar terhadap oksigen maka penyebarannya akan luas berbeda dengan spesies yang mempunyai kisaran toleransi sempit.

Faktor lain yang mempengaruhi kelarutan O2 dalam air adalah gerakan dipermukaan air, luas daerah permukaan air yang terbuka bagi atmosfer, tekanan atmosfer dan persentase O2 dalam udara di sekelilingnya, serta kehadiran tanaman berfotosintesis.

Selain itu juga, dipengaruhi oleh konsentrasi bahan organik dalam air dimana makin banyak bahan organik dalam air maka bakteri pengurai akan berlipat ganda, hal ini mengurangi kadar O2 dalam air. Adanya bahan organik ini disebabkan oleh tindakan manusia yan terus menerus membuang sampah organik ke dalam air, sehingga menimbulkan kondisi anaerob.

Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, dalam Salmin, 2000). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet dalam Salmin, 2000). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonimous 2004 dalam Salmin, 2000).

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Banyaknya Oksigen Terlarut

a. Pergerakan permukaan air. Pergerakan air berupa riak air maupun gelombang akan mempercepat difusi udara ke dalam air.

b. Suhu. Suhu berpengaruh pada kejenuhan (kapasitas air menyerap oksigen). Makin tinggi Suhu maka makin sedikit oksigen dapat larut.

c. Tekanan udara. Tekanan udara berhubungan dengan ketinggian suatu daerah dari permukaan laut. Makin tinggi suatu daerah maka makin rendah tekanan udaranya sehingga makin rendah pula kadar oksigen terlarut.

d. Salinitas. Makin tinggi salinitas maka makin sedikit oksigen yang dapat larut.

e. Tanaman air. Tanaman air, terutama ganggang, tentunya berhubungan dengan proses fotosintesis yang memerlukan sinar matahari. Bila sinar matahari sedikit maka proses fotosintesis terhambat sehingga oksigen terlarut pun sedikit.

3. Karbondioksida (CO2) bebas

Karbondioksida sangat mudah larut dalam air tetapi sangat sedikit karbondioksida berada dalam larutan biasa karena jumlahnya dalam udara atmosfer sangat sedikit. Selain dekomposisi bahan organik dan pernafasan tumbuhan air dalam hal ini fitoplankton dan zooplankton memberi sumbangan pada karbondioksida yang sudah ada. Karbondioksida bergabung secara kimiawi dengan air membentuk asam karbonat yang mempengaruhi pH air. Dalam air yang asam dengan pH rendah, CO2 diubah menjadi bentuk bebas. Pada pH yang mendekati netral hampir semua CO2 sebagai karbonat dan dengan bertambahnya ion-ion bikarbonat dan karbonat menyebabkan air cenderung bersifat basa dan menahan perubahan ion hidrogen, sehingga menyebabkan fluktuasi pH yang minimum dalam sistem air tawar.

Fotosintesis fitoplankton sebagai tumbuhan air, agitasi air, dan penguapan menyebabkan hilangnya CO2 dalam sistem air tawar. Disamping itu dalam sistem air banyaknya CO2 mempengaruhi kecepatan metabolisme dan pertumbuhan, orientasi maupun pergerakan beberapa hewan air, zooplankton dan invertebrata yang lain (Boy, 1988 dalam Purwandari, 2005).

praktikum Mkroter BB


Pada percobaan ini bromtimol biru berfungsi sebagai indikator untuk dapat mengetahui apakah terdapat CO2 didalam tabung reaksi karena larutan bromtimol biru sangat sensitif dengan CO2, kesensitifan ini dapat dilihat dengan adanya reaksi perubahan warna.

pH larutan BB jadi semakin asam....

Jawaban buat adek - mikro terapan yang imut

Dalam proses fermentasi, yeast mengubah gula menjadi etanol (ETIL ALKOHOL). Energi yang dihasilkan digunakan oleh yeast itu sendiri serta sebagian energi dilepas ke lingkungan. hal itu menyebabkan terjadinya kenaikan suhu pada erlenmeyer.
Akan tetapi pada hari ke 3 pangamatan, suhu tersebut turun, yang diakibatkan oleh berhentinya proses melabolisme anaerob tersebut (fermentasi).

Pada larutan BB terjadi perubahan warna, dari biru menjadi kekuning-kuningan. hal ini di akibatkan dari CO2 hasil proses fermentasi yang dialirkan ke larutan BB. semakin tinggi kadar CO2 pada larutan BB tersebut maka pH-nya akan turun (asam). hal ini dilihat dari perubahan warna dari larutan BB.

Pada erlenmeyer, terdapat endapan "putih". endapan tersebut merupakan yeast yang mungkin "in-active" karena substrat (gula) yang difermentasi telah habis. karena tingkat toleransi sel ragi terhadap alkohol adalah 12-14% atau dari referensi yang lain dinyatakan 13%. sehingga pada industri fermentasi alkohol, untuk menghasilkan etanol dengan konsentrasi yang lebih tinggi harus di distilasi.

Pada hari ke-3, bau hasil fermentasi berubah menjadi lebih menyengat / lebih asam. kemungkinan bau tersebut merupakan bau dari asam asetat. karena etanol dapat difermentasi lagi menjadi as.asetat. akan tetapi perlu di kaji lagi, apakah sel ragi dapat memfermentasi as.asetat, karena secara teoritis as.asetat dihasilkan oleh bakteri as.asetat dan metabolismenya terjadi secara aerob....

created by Zakaria alfarizy pratama

Produksi Alkohol

PENDAHULUAN

Produksi alkohol dari biomassa, telah dilakukan orang sekurang-kurangnya sudah 2.000 tahun. Dengan adanya kendraaan mobil dalam skala komersial pada akhir abad yang lampau, alkohol digunakan pula sebagai bahan bakar. Setelah banyaknya ditemukan sumber bahan bakar minyak, maka pengunaan alkohol menjadi berkurang. Dengan meningkatnya harga bahan bakar minyak, maka alkohol menjadi penting lagi. Pengunaan alkohol antara lain :
1. Sebagai minuman
2. Sebagai bahan kimia dan pelarut
3. Sebagai bahan bakar motor
4. Dalam bidang farmasi

II. PRODUKSI ALKOHOL

2.1. Produksi Alkohol Dunia

Produksi dunia etanol dalam tahun 1977 diperkirakan sebanyak 3 juta ton, dimana 1,4 juta ton (48%) diproduksi dengan cara sintetis. Produksi alkohol di Indonesia Alkohol di Indonesia dilakukan dengan jalan fermentasi dangan bahan baku molase (tetes).

Produksi alkohol dengan cara fermentasi
2.3.1. Bahan baku bagi produksi alkohol Industri kimia dengan proses fermentasi bisa dikatakan mempunyai fleksibilitas tinggi terhadap bahan bakunya. Terdapat banyak variasi bahan baku yang dapat digunakan dalam industri fermentasi. Dan hampir semuanya, bahan baku untuk proses fermentasi, baik secara langsung maupun tidak langsung menggunakan hasil pertanian seperti : tebu, jagung, kentang dan lain-lain

Produksi etanol dengan cara fermentasi bisa diproduksi dari 3 macam karbohidrat, yaitu :
1. Bahan-bahan yang mengandung gula atau disebut juga substansi sakharin yang rasanya manis, seperti misalnya gula tebu, gula bit, molase (tetes), macam-macam sari buah-buahan dan lain-lain. Molase mengandung 5055% gula yang dapat difermentasi, yang terdiri dari atas 69% sakhrosa dan 30% gula inversi.
2. Bahan yang mengandung pati misalnya: padi-padian, jagung, gandum, kentang sorgum, malt, barlrey, ubi kayu dan lain-lain.
3. Bahan-bahan yang mengandung selulosa, misalnya: kayu, cairan buangan pabrik pulp dan kertas (waste sulfire liquor)
4. Gas-gas hidrokarbon Sumber-sumbrer bahan ini pada negar-negara penghasil alkohol berbeda-beda tergantung pada banyaknya bahan-bahan yang dapat diperoleh di negerinegeri itu, misalnya :
Jerman : bahan dasar kentang
Prancis : bahan dasar gula bit
Swedia : bahan dasar sulfat pulp
Indonesia : bahan dasar molase (tetes)

Substansi saknarin sebagai bahan baku

Pada umumnya sebagai media untuk produksi alkohol secara komersial pada industri fermentasi alkohol di Indonesia dipakai tetas (molase) yang bisa didapatkan secara luas dan murah.
Tetes merupakan hasil samping dari industri gula yang didapatkan setelah sakhorasanya dikritalisasai dan disentrifusi dari sari gula dan tebu. Proses penguapan dan pengkristalan ini biasanya dilakukan tiga kali sampai tetes tidak lagi ekonomis untuk diperoleh. Sisa tetes/cairan dikenal sebagai “black staf molase” yang merupakan campuran kompleks yang mengandung sakhrosa, gula invert, garam-garam dan bahan-bahan non gula. Di samping sakhrosa, glukosa dan fluktosa yang dapat difermentasi, molase juga mengandung substansi-substansi pereduksi yang tidak dapat difermentasi. Bahan-bahan ini antara lain karamel yang terjadi karena pemanasan gula, melanodin yang mengandung nitrogen dan terdapat pula hidroksi metil furfural, asam fominat dan lain-lain. Bahan yang tidak dapat difermentasi ini bisa mencapai 17% dalam black strap molasse, dan sebesar 5% dalam high test molase. Tetes bersifat asam, mempunyai pH 5,5-0,5 yang disebabkan olah adanya asam-asam organik bebas. Kualitas tetes yang dihasilkan dari suatu industri gula dipengaruhi oleh cara pembersihan nirsnya. Bila kurang sempurna, maka kotoran banyaki terdapat dalam tetes. Warna tetes umumnya coklat kemerahan. Hal ini disebabakan antara lain pigmen maladonin, degradasi thermal dan kimiawi dari komponen-komponen selain gula.

2.3.3. Mikroba Fermentasi
Dalam proses fermentasi alkohol digunakan ragi. Ragi ini dapat mengubah glukosa menjadi alkohol dan gas CO2. Ragi merupakan mikroorganisme bersel satu, tidak berklorofil dan termasuk golongan eumycetes. Dari golongan ini dikenal beberapa jenis, antara lain Saccharomyces anamenesis, Schizosaccharomyces pombe dan Saccharomyces cereviside. Masing-masing mempunyai kemampuan memproduksi alkohol yang berbeda. Syarat-syarat yang dipergunakan dalam memilih ragi untuk fermentasi, adalah :
Cepat berkembang biak
Tahan terhadap alkohol tinggi
Tahan terhadap suhu tinggi
Mempunyai sifat yang stabil
Cepat mengadakan adaptasi terhadap media yang difermentasi

Untuk memperoleh jenis ragi yang mempunyai sifat-sifat seperti di atas, harus dilakukan percobaan-percobaan di laboratorium dengan teliti. Pada umumnya ragi yang dipakai untuk pembuatan alakohol adalah jenis Saccharomyces cerevisae, yang mempunyai pertumbuhan sempurna pada suhu + 300 C dan pH 4,8.
Ragi menurut kegiatan selama fermensi terbatas atas dua bagian, yaitu : Tup yeast (ragi atas) Ragi yang aktif pada permukaan atas media, yang menghasilkan ethanol dan CO2 dengan segera. Jenis ini biasanya dijumpai pada industri alcohol dan anggur. Botton Yeast (ragi bawah) Yeast yang aktif pada bagian bawah. Biasanya industri penghasil bir yang menggunakan ragi bawah ini yang menghasilkan ethanol sedikit dan membutuhkan waktu yang lama untuk kesempurnaan fermentasi.

Dalam kondisi yang normal, top yeast cenderung untuk berokulasi dan memisahkan diri dari larutan, ketika fermentasi berjalan sudah sempurna. Starin ragi yang bervariasi itu berbeda dalam kemampuan berfokulasi.

2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan ragi
a. Nutrisi (zat gizi)
Dalam kegiatannya ragi memerlukan penambahan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembanbiakan, misalnya :
- Unsur c : ada pada karbohidrat
- Unsur N : dengan penambahan pupuk yang mengandung nitrogen, ZA, Urea, Anomia, Pepton dan sebagainya.
- Unsur P : penambahan pupuk fospat dari NPK, TSP, DSp dan lain-lain.
- Mineral-mineral
- Vitamin-vitamin

b. Keasaman (pH)
Untuk fermentasi alkoholis, ragi memerlukan media suasana asam, yaitu antara pH 4,8– 5,0. Pengaturan pH dilakukan penambahan asam sulfat jika substratnya alkalis atau natrium bikabonat jika substratnya asam.

c. Temperatur Temperature optimum untuk dan pengembangbiakan adalah 28 – 300C pada waktu fermentasi, terjadi kenaikan panas, karena ekstrem. Untuk mencegah agar suhu fermentasi tidak naik, perlu pendinginan supaya suhu dipertahankan tetap 28-300C. d. Udara Fermentasi alcohol berlansung secara anaerobic (tanpa udara). Namun demikian, udara diperlukan pada proses pembibitan sebelum fermentasi, untuk pengembangbiakan ragi sel.

2.5. Proses Pembuatan Alkohol dari Tetes
Proses pembuatan alkohol secara industri tergantung bakunya. Bahan yang mengandung gula biasanya tidak atau sedikit saja memerlukan pengolahan pendahuluan. Tetapi bahan-bahan yangmengandung pati atau seluloda harus dihidrolisa terlebih dahulu menjadi gula yang dapat menjadi gula yang dapat difermentasikan. Pada prinsipnya reaksi dalam proses pembuatan alcohol dengan fermentasi adalah sebagai berikut : C2H5OH + CO2 C6H12O6
Proses fermentasi dari tetes yang meliputi sederhana banyak dikerjakan secara industri. Pada pokoknya, proses ini meliputi pengenceran tetes, pengembangbiakan (peragian) ragi, fermentasidan distilasi. Tiap ton produksi mengahasilkan lebih kurang 190 liter molase. Rata-rata molase mengandung 50 – 55% gula yang dapat difermentasi (terutama sakhrosa (70%(, glukosa dan fluktosa (30%)). Tipa ton molase dapat menghasilakan 280 liter alcohol.
2.5.1. Tahap –tahap Proses
Pada prinsipnya pembuatan alcohol terbagi dalam tahap–tahap proses sebagai berikut : 1. Pengolahan Tetes Pengolahan tetes merupakan hal yang penting dalam pembuatan alcohol. Pengolahan ini dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi yangoptimumkan untuk pertumbuhan ragi dan untuk selanjutnya. Yang perlu disesuaikan dalam pengolahan ini adalah pH, konsentrasi gula dan pemakaian nutrisi. Tetes yan dihadapkan dari pabrik gula biasanya masih terlalu paket (850 Brix), oleh karena itu perlu diadakan pengenceran lebih dahulu untuk mendapatkan kadar gula yang optimum (120 Brix untuk pembibitan dan 240 Brix pada fermentasi). Pengaturan pH diatur dengan penambahan asam H2SO4 hingga dicapai pH 4 – 5. Meskipun tetes cukup mengandung zat sumber nitrogen namun seperti ammonium sulfat atau ammonium fosfat.
2. Sterilisasikan tetes Untuk mencegah adanya mikroba kontamin hidup pembibitan maupun selama fermentasi, tetes dipasteurisasikan dengan pemanasan memakai uap pada suhu sekitar 750C, kemudian diingikan selama 1 jam sampai suhu 300C. Tetes yang telah banyak sedikit sterisl ini siap dipaki untuk kebutuhan dalam pembibitan atau fermentasikan.
3. Pengembangbiakan (Pembibitan) ragi Proses ini dimaksudkan untuk memperbanyak sel – sel ragi supaya sejumlah sel ragi banyak sebelum digunakan dalam fermentasi alcohol. Ragi yang digunakan pada fermentasi alcohol sel ragi ini tidak dapat dilakukan secara langsung, tetapi harus dilakukan secara bertahap dengan maksud untuk adaptasi dengan lingkungan. Mula – mula dilakukan dalam jumlah kecil pada skala laboratorium, kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam tangki induk pembibitan. Tangki-tangki tersebut dilengkapi dengan cooler dengan aerobic dengan erasi udara. Tangkitangki tersebut dilengkapi dengan cooler dengan maksud untuk pengaturan suhu 28 – 300 selama diinkubasi.
4. Fermentasi Fermentasi dilakukan dalam tangki fermentasi. Fermentasi dilakukan pada kepekatan tetes baru. pH diatur menjadi 4 – 5. Untuk terjadinya fermentasi alcohol, maka dibutuhkan kondisi anaerob hingga diharapkan sel ragi dapat melakukan peragian yang akan mengubah tetes yang mengandung gula menjadi alcohol. Pada proses fermentasi ini dapat diserap, maka diperlukan pendinginan untuk menjada temperature tetap pada ± 300C selama proses fermentasi yang berlangsung selama 30 – 40 jam. Gas CO2 yang terjadi dalam tangki fermentasi ditampung menjadi satu untuk kemudian direcovery. Alcohol yang ikut aliran gas CO2 dipisahkan dengan jalan ditangkap oleh air yaitu adanya water scrubber yang diletakkan diatas tangki. Pada akhir fermentasi, kadar alcohol berkisar antara 8 – 10% volume. Hasil fermentasi ini dialirkan ke bak penampung, kemudian dipompa ke bagian distilasi. Cairan hasil fermentasi disebut bir (“beer”).
5. Distilasi Produk hasil fermentasi mengandung alkohol yang rendah, disebut bir (beer) dan sebab itu perlu di naikkan konsentrasinya dengan jalan distilasi bertingkat. Beer mengandung 8 – 10% alkohol. Maksud dan proses distilasi adalah untuk memisahkan etanol dari campuran etanol air. Untuk larutan yang terdiri dari komponen-komponen yang berbeda nyata suhu didihnya, distilasi merupakan cara yang paling mudah dioperasikan dan juga merupakan cara pemisahan yang secara thermal adalah efisien. Pada tekanan atmosfir, air mendidih pada 1000C dan etanol mendidih pada sekitar 770C. perbedaan dalam titik didih inilah yang memungkinkan pemisahan campuran etanol air.
Prinsip : Jika larutan campuran etanol air dipanaskan, maka akan lebih banyak molekul etanol menguap dari pada air. Jika uap-uap ini didinginkan (dikondensasi), maka konsentrasi etanol dalam cairan yang dikondensasikan itu akan lebih tinggi dari pada dalam larutan aslinya. Jika kondensat ini dipanaskan lagi dan kemudian dikondensasikan, maka konsentrasi etanol akan lebih tinggi lagi. Proses ini biasdiulangi terus, sampai sebagian besar dari etanol dikonsentrasikan dalam suatu fasa. Namun hal ini ada batasnya. Pada larutan 96% etanol, didapatkan suatu campuran dengan titik didih yang sama (azeotrop). Pada keadaan ini, jika larutan 96% alkohol ini dipanaskan, maka rasio molekul air dan etanol dalam kondensat akan teap konstan sama. Jika dengan cara distilasi ini, alcohol tidak bias lebih pekat dari 96%. Cara distilasi Untuk memisahkan alkohol dari campuran dan meningkatkan kadar alkohol, beer perlu didistilasi.
Pada prinsipnya unit distilasi mempunyai 3 jenis kolom, yaitu :
− Kolom “beer” (beer still)
− Kolom “rektifikasi” (rectifying column)
− Kolom pemurnian (purifying column)

Kolom Beer Dari bak penampung, “beer” dengan kadar alkohol 8–10% dipompakan ke dalam kolom “beer” melalui alat penukar panas (heat exchanger). Di dalam alat ini “beer” akan mengalami pemanasan karena adanya perpindahan panas. Didalam kolom “beer” alkohol dan zat yang mudah menguap lainnya akan dari cairan yang mempunyai titik didih tinggi. Cairan ini merupakan campuran air dan bahan-bahan bergula yang tidak terfermentasi. Cairan ini merupakan limbah yang disebut “stillage” atau “vinasse panas”. Kemudian cairan ini dialirkan dari bagian bawah kolom melalui alat penukar panas dengan suhu tertentu untuk selanjutnya dibuang. Stillage ini mengandung protein–protein, sisa–sisa gula, dan dalam keadaan tertentu juga produk–prroduk vitamin. Baik untuk makan ternak. Kolom rektifikasi “Kolom pemurnian” (purirying column) berfungsi untuk mempertinggi kualitas alkohol yang dihasilkan. Di dalam kolom ini alkohol dipisahkan dari aldehida dan zat yang mudah menguap lainnya hingga diperoleh alcohol 96% yang biasa dikenal sebagai alkohol teknis. Dalam kondisi ini alkohol absolute harus dilakukan proses dehidrasi di dalam “dehydrating still” dengan penambahan larutan ketiga sebagai pengikat air yang ada dalam campuran azeotrop tersebut.

Minuman beralkohol
Minuman beralkohol yang dibuat dengan fermentasi dapat dibagi dalam 3 (tiga ) tipe :
1. Tipe “mead” yang menggunakan bahan baku madu atau cairan tumbuh– tumbuhan, seperti cairan (lobong) pohon enau.
2. Tipe anggur (rome) dari sari buah–buahan, dan
3. Tipe bir dengan bahan baku zat pati yang berasal dari biji-bijian.

Bir Kita kenal 3 istilah untuk minuman yang disebut bir, ialah: bir, ale dan stout. 1. Bir adalah minuman yang fermentasi dengan menggunakan ragi bawah (bottom fermenting yeast);
2. Ale adalah bir yang difermentasi dengan menggunakan ragi atas (top fermenting yeast);
3. Stout ialah bir yang difermentasi dengan ragi atas seperti ale, namun bahan baku yang digunakan hanya malt saja, tanpa tambahan sumber pati lain seperti jagung, dan produknya berwarna kehitam–hitaman.

2.6.1. Bahan baku
1. Malt
Malt berasal dari biji barley (hordenun sativum) yang telah dikecambahkan selama beberapa hari dan kemudian dikeringkan untuk menghentikan pertumbuhan selanjutnya, proses keseluruhan dari biji barley hingga malt dinamakan malting.
2. Hop
Bunga hop berasal dari bunga betina dua spesies humulus, Humulus lupulus L dan humulus Japanicus. Bunga hop terdiri atas (1) stipular bract yang tidak berguna dan (II) biji bracteole yang melekat pada tangkai utama.
3. Air
4. Bahan baku pati tambahan Ragi
Ragi yang digunakan untuk fermentasi alkohol alkohol adalah Saccharomyces cerevisiae.

2.6.2. Proses produksi bir
1. Poses pertama adalah “mashing”.
Tujuan dari mashing adalah untuk melarutkan sebanyak mungkin zat-zat dari malt dan sumber zat pati lain dengan cara hidrolisa dari zat pati dan polisakharida, dan juga menghidrolisa protein. Caranya ialah mula – mula dengan mencapurkan sejumlah air pada malt yang telah digiling dan kemudian ditambahkan sumber zat pati lain. Kemudian suhu dinaikkan sampai 65 – 700C dan membiarkan enzim-enzim amilasa (diatas) dari malt menghidrolisa zat pati menjadi gula - gula yang larut dan dekstrin. Proses pengubahan zat pati menjadi gula disebut sakharifikasi. Enzim protease protein menjadi molekul-molekul yang sederhana dan larut. Waktu masing ini ± 1 jam. Kemudian suhu ditingkatkan lagi sampai 750C untuk menginaktilasi enzim. Material yang tidak larut mengendap.

2. Proses pemisahan.
Pemisahan material yang tidak larut dari cairan yang terlarut (yang disebut wart) biasa dilakukan dengan tangkai penyaring yang disebut “lautertub”. Kemudian ditambahkan hop pada wort dan didihkan selama ± 2,5 jam dan kemudian difiltrasi untuk memisahkan endapan–endapan albumin, resin–resin hop, protein.

3. Pendidihan wort.
Pendidihan wort dimaksudkan untuk :
1). Mengentalkan wort– wort;
2). Sterilisasi;
3). Inaktifasi enzim;
4). Ekstraksi substans yang larut dari hop
5). Koagulasi protein dan lain – lain substansi;
6). Karamelisasi gula sedikit. Substansi–ubstansi ekstrak dari hop adalah zat – zat yang pahit, dan resin yang menyebabkan cita rasa khas dari bir.

4. Fermentasi.
Ragi–ragi yang digunakan dalam fermentasi bir adalah spesies saccharomyces cerevisiae, termasuk straim – straim ragi bawah dan atas. Perbedaan ragi atas dan bawah ini tergantung apakah ragi – ragi itu berpindah ke bagian atas tangki atau mengendap ke bawah tangki pada waktu periode fermentasi aktif. Untuk produksi bir biasa digunakan ragi bawah. Fermentasi dari wort dilakukan pada suhu 3,3 – 140C. Fermentasi berakhir pada waktu 8 – 14 hari.
PH fermentasi adalah 5.0 - 5.4. pH yang rendah ini akan menghalangi pertumbuhan mikroba lain yang tidak dikehendaki. Setelah fermentasi jadi alkohol dan CO2, pH akan turun lagi menjadi 4.2 – 4.8.
Pada proses fermentasi terjadilah pemecahan gula menjadi alkohol dan CO2, ditambah sedikit gliserol dan asam asetat.
Reaksi ini adalah eksoterm Fermentasi utama berlangsung 4 hari. Wort yang telah mengalami fermentasi ini disebut “bir muda”. Pematangan Bir muda ini kemudian dimatangkan (aging) dalam bejana – bejana pada suhu sekitar O0C selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Selama periode ini, terjadi rada dan aroma yang disebabkan oleh timbulnya ester – ester. Setelah pematangan, dilakukan penyaringan dan pembotolan serta pasteurisasi.

III. KESIMPULAN
Pembuatan alkohol dapat dilakukan dengan berbagai proses, antara lain : produksi alkohol dengan cara fermentasi dan proses pembuatan alkohol dengan cara fermentasi dan proses pembuatan alkohol dari tetes. Adapun proses pembuatan alkohol tergantung pada bahan baku yang dipakai. Pada proses pembuatan alkohol dengan cara fermentasi bisa diproduksi dari 3 macam karbohidrat yaitu :
1. Bahan–bahan yang mengandung gula atau disebut juga substansi sakharin yang rasanya manis.
2. Bahan yang mengandung pati
3. Bahan yang mengandung selulosa
4. Gas–gas hidrokarbon Sedangkan proses pembuatan alkohol dari tetes dengan bahan yang mengandung gula.

Kajian teori kolom winogradsky

href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CARWANA%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml">

Ekosistem

Antara makhluk hidup satu dengan yang lain akan selalu terjadi interaksi. Ekosistem tersusun atas komponen-komponen yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Komponen itu membentuk satuan-satuan organisme kehidupan. Antara individu yang satu dengan lainnya dalam satu daerah akan membentuk populasi. Selanjutnya, antara populasi yang satu dengan yang lainnya dalam satu daerah akan terjadi interaksi membentuk komunitas. Selanjutnya, komunitas ini juga akan selalu beriteraksi dengan tempat hidupnya. Misalnya, rumput hidup di tanah, belalang hidup di rerumputan, dan ikanikan hidup di air. Hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya akan membentuk ekosistem. Kumpulan ekosistem di dunia akan membentuk biosfer. Urutan satuan- satuan makhluk hidup dalam ekosistem dari yang kecil sampai yang besar adalah sebagai berikut: Individu- populasi- komunitas- ekosistem- biosfer

1. Individu

Istilah individu berasal dari bahasa Latin individum yang berarti tidak dapat dibagi. Di dalam ekologi, individu dapat diartikan sebagai sebutan untuk makhluk tunggal. Beberapa pengertian individu antara lain:

a. Suatu individu selalu menggambarkan sifat tunggal

b. Dalam diri yang tunggal terjadi proses hidup sendiri

c. Proses hidup yang satu dengan lainnya berbeda

2. Populasi

Populasi adalah semua individu sejenis yang menempati suatu daerah tertentu. Suatu organisme disebut sejenis bila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Menempati daerah atau habitat yang sama

b. Mempunyai persamaan bentuk, susunan tubuh, dan aktifitas

c. Mampu menghasilkan keturunan yang subur, yaitu yang mampu berkembang biak.

3. Komunitas

Komunitas dapat diartikan sebagai seluruh populasi yang menempati daerah yang sama. Di daerah tersebut, antarjenis makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya akan terjadi interaksi. Kemudian interaksi itu membentuk suatu kumpulan, di mana di dalamnya setiap individu menemukan lingkungan yang

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Di dalam kumpulan tersebut terdapat suatu kerukunan untuk hidup bersama, toleransi kebersamaan, dan hubungan timbal balik yang menguntungkan dan ada pula yang merugikan.

4. Ekosistem

Ekosistem merupakan tatanan secara utuh dari seluruh unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang kompleks antara organisme dengan lingkungannya. (Anonim, 2008) http://irsae.files.wordpress.com/2008/05/satuan-dalam-ekosistem.pdf.

Berdasarkan proses terbentuknya, kita mengenal dua jenis ekosistem, yaitu ekosistem alami dan ekosistem buatan. Ekosistem alami adalah ekosistem yang terbentuk secara alamiah, artinya tanpa adanya campur tangan manusia. Ekosistem buatan adalah ekosistem yang terbentuk melalui campur tangan manusia. Hutan, laut, danau, dan rawa merupakan contoh dari ekosistem alami, sedangkan akuarium, sawah, dan waduk merupakan contoh dari ekosistem buatan.

Komponen penyusun ekosistem terdiri atas komponen yang hidup (biotik) dan komponen tak hidup (abiotik).
1.Komponen Biotik
Komponen biotik merupakan bagian dari suatu ekosistem yang terdiri atas semua makhluk hidup. Komponen biotik terdiri atas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan berbagai jasad renik (mikroorganisme). Berdasarkan fungsi di dalam ekosistem, komponen biotik dikelompokkan sebagai produsen, konsumen, dan komposer.


a.Produsen
Produsen adalah makhluk hidup yang dapat memproduksi makanan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk makhluk hidup yang lain. Semua tumbuhan dan organisme fotosintesis berperan sebagai produsen karena dapat melakukan proses fotosintesis. Pada peristiwa ini, air dan CO2 diubah menjadi karbohidrat O2. Karena tumbuhan dapat membuat makanannya sendiri, disebut organisme autotrof.

b.Konsumen
Konsumen adalah makhluk hidup yang memakan makhluk hidup lain karena tidak dapat membuat makanannya sendiri. Oleh karena itu, manusia dan hewan di dalam ekosistem memiliki peran sebagai konsumen. Hal itu dikarenakan keduanya bergantung kepada produsen, baik langsung maupun tidak langsung.

http://apick-apick.blogspot.com/2008/04/ekosistem-tujuan-pembelajaran-1.html.

Ò Ekosistem Buatan Kolom Winogradsky

Kolom winogradsky adalah salah satu cara sederhana untuk mempelajari cros section suatu lingkungan alami di laboratorium. Kolom ini ditemukan oleh ahli mikrobiologi Rusia bernama Sergei Winogradsky (1856-1953) dan Martinus W. Beijerinck (1851-1931) yang digunakan sebagai model untuk mempelajari interaksi populasi bakteri pada berbagai komunitas perairan dan sedimen perairan dan sedimen. Menurut Jim Deacon (2005), Kolom winogradsky menggambarkan bagaimana mikroorganisme yang berbeda membentuk hubungan interdependen, dimana aktivitas suatu organisme mampu mempengaruhi organisme lain untuk tumbuh atau sebaliknya. Kolom winogradsky terdiri atas lumpur dan sedimen yang dimasukkan kedalam gelas silinder atau plastik tansparan. Penyusunan dalam bentuk "kolom" memungkinkan terbentuknya kondisi aerob di permukaan kolom dan kondisi mikroaerofil atau anoxic di bagian bawah (Sitaresmi, 2005). Bagian permukaan kolom terpapar dengan oksigen semakin ke bagian bawah kolom semakin kekurangan oksigen sampai ke bagian dasar merupakan zona anaerob. Bagian permukaan dan tepi kolom terpapar dengan cahaya sehingga dapat menggambarkan spektrum pertumbuhan organisme dari yang memutuhkan oksigen dan cahaya sampai organisme yang membutuhkan cahaya tetapi tidak membutuhkan oksigen.

Menurut Atlas (1988), lumpur dan sedimen yang digunakan mengandung atau teraugmentasi dari substrat senyawa organik karbon, sulfide, dan sulfat. Hal ini yang mengakibatkan perkembangan sejumlah bakteri heterotrop dan photoautotroph termasuk bakteri sulfur photosintetik anaerob. Kolom ini dapat diisi dengan tanah, Lumpur, dan air dari berbagai maca lingkungan dan dapat dimodifikasi dengan kultur pengkayaan. Komunitas bakteri di alam mempunyai kelimpahan dan diversitas terbanyak misalnya dalam tanah. Pengetahuan akan komunitas tersebut akan sangat bermanfaat sebagai dasar penelitian maupun aplikasi selanjutnya. http://cyber-biology.blogspot.com/2008/09/laporan-praktikum-mikrobiologi.html.

Ò Tanah Sawah

Tanah dalam Bahasa Inggris disebut soil, menurut Dokuchaev: tanah adalah suatu benda fisis yang berdimensi tiga terdiri dari panjang, lebar, dan dalam yang merupakan bagian paling atas dari kulit bumi. Sedangkan lahan Bahasa Inggrisnya disebut land, lahan merupakan lingkungan fisis dan biotik yang berkaitan dengan daya dukungnya terhadap perikehidupan dan kesejahteraan hidup manusia. Yang dimaksud dengan lingkungan fisis meliputi relief atau topografi, tanah, air, iklim. Sedangkan lingkungan biotik meliputi tumbuhan, hewan, dan manusia. Jadi kesimpulannya pengertian lahan lebih luas daripada tanah.

Tanah sawah ini diartikan tanah yang karena sudah lama (ratusan tahun) dipersawahkan memperlihatkan perkembangan profil khas, yang menyimpang dari tanah aslinya. Penyimpangan antara lain berupa terbentuknya lapisan bajak yang hampir kedap air disebut padas olah, sedalam 10 – 15 cm dari muka tanah dan setebal 2 – 5 cm. Di bawah lapisan bajak tersebut umumnya terdapat lapisan mangan dan besi, tebalnya bervariasi antara lain tergantung dari permeabilitas tanah. Lapisan tersebut dapat merupakan lapisan padas yang tak tembus perakaran, terutama bagi tanaman semusim. Lapisan bajak tersebut nampak jelas pada tanah latosol, mediteran dan regosol, samara-samar pada tanah aluvial dan gramosol. (Pamungkas,2006)

Diantara sekian banyak kelompok mikroorganisme, bakteri merupakan kelompok yang paling dominan dan pada umumnya berkembang di dekat mintakat (zone) perakaran tanaman (risosfer). Sebagian besar adalah bakteri heterotrop yang berperanan dalam proses dekomposisi. Kebanyakan mikroorganisme lebih banyak dijumpai pada tanah-tanah yang ditanami dari pada yang tidak ditanami. Bakteri yangumum dijumpai adalah Rhizobium, Azotobakter, Azospirilium, Nitrosomonas, Pseudomonas, Basilus yang berperanan dalam menambat nitrogen udara. Semua komponen yang bertanggung jawab dalam daur nitrogen termasuk penyematan nitrogen secara biologi, nitrifikasi dan denitrifikasi sangat tergantung pada kegiatan mikrobia. Bakteri penambat nitrogen, baik yang non-simbiosis maupu yang bersimbiose dengan tanaman mampu mengikat 69% nitrogen udara. Rhizobium yang bersosiasi dengan tanaman legum dalam satu periode pertanaman dan pada kondisi tertentu mampu mengikat 100-300 kg N/ha, dan mampu memasok nitrogen pada pertanaman berikutnya. Di antara mikroorganisme non-simbiosis adalah Azobakter, Azospirilium, Clostridium, dan jenis lain seperti ganggang biru. (Rachman,2002)
Aktinomisetes merupakan mikrobia heterotropik yang mampu mendekomposisi sisa pertanaman, baik di dalam tanah maupun bahan kompos. Meskipun selalu di jumpai dalam tanah, tetapi lebih banyak hidup pada kondisi lingkungan yang aerob dan relatif panas. Seperti halnya fungi yang menghsilkan hifa yang panjang dan tipis, aktinomisetes mampu menembus tanah untuk mencari jaringan tanaman yang telah terdekomposisi, dan selanjutnya menyerap hara dan energi. Aktinomisetes suatu saat jumlahnya berlebihan, terutama saat berlangsung proses dekomposisi bahan organik, populasinya dapat mencapai 200 juta untuk setiap gram tanah (Allison,1973). Aktinomisetes berperanan penting karena mampu mengurai beberapa jenis senyawa yang tahan terhadap dekomposisi bakteri, seperti selulose, hemiselulose, keratin, kitin, dan asam reaksi oksalat(Allison,1973). Aktinomisetes tumbuh baik pada tanah-tanah yang bereaksi netral atau alkalin dan kurang berkembang di tanah yag bereaksi masam.