Kamis, 26 Agustus 2010

PKMP-UNESA 2010

A. JUDUL : Pengaruh Kombinasi Waktu Pelepasan Yang Berbeda Antara Diatraeophaga striatalis Tns. Dan Trichogramma chilonis Terhadap Persentase Kerusakan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum linn.) yang Disebabkan oleh Chilo auricilus Dudgeon


disusun oleh :

Zakaria Pratama (ketua 063244232 angkatan 2006)

Iwan Mardiansyah (anggota 063244221 angkatan 2006)

Miftahul Zaini (anggota 073204024 angkatan 2007)


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI


B. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki banyak potensi di bidang pertanian dan perkebunan. Hasil bumi yang melimpah seperti beras, kakao, tebu dan lain-lain merupakan tonggak perekonomian Negara. Hal ini didukung kondisi tanah di Indonesia yang subur.

Tanaman perkebunan merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi. Salah satu usaha perkebunan adalah perkebunan tebu serta industri agribisnis gula (Sudarmo, 1988). Tebu merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokan dalam famili Gramineae. Seperti halnya padi dan termasuk katagori tanaman semusim, tanaman tebu tumbuh membentuk anakan, mengelompok dalam bentuk rumpun dan menghasilkan karbohidrat yang begitu tinggi. Berbeda dengan padi yang satu siklusnya 3-4 bulan, tanaman tebu membutuhkan waktu untuk menghasilkan produksi gula mencapai 11-12 bulan, sehingga memiliki biomassa yang cukup tinggi. Rata-rata bobot tebu yang dapat dihasilkan melalui pengelolaan budidaya yang baik dapat mencapai produktivitas tebu sekitar 1000-1200 ku/ha.

Para pengamat agronomis menyimpulkan bahwa penerapan teknik budidaya tebu secara baik dan benar merupakan salah satu kunci sukses pencapai produktivitas tebu lahan sawah secara maksimal. Hal tersebut terbukti bahwa pengelolaan lahan sawah melalui budidaya tebu secara baik dan benar telah menghasilkan produktivitas gula yang tinggi di beberapa lokasi yang memiliki jenis tanah yang berbeda. Salah satu penerapan teknik budidaya tebu secara baik dan benar adalah teknik pengendalian hama tanaman tebu.

Hama sebagai salah satu kendala produktivitas tebu adalah adanya gangguan hama tanaman. Besar kerugian akibat serangan hama ini sangat bervariasi tergantung dari : (1) Serangga hama meliputi jenis hama, tingkat dan luas serangan, stadia serangga; (2) Tanaman meliputi pengertian varietas tebu, stadia tumbuh/umur tebu, dan kesehatan tanaman; dan (3) Faktor lingkungan antara lain iklim, musuh alami, dan kesuburan tanah. Hama tanaman tebu yang tak terkendali dapat menurunkan produktivitas tanaman tebu itu sendiri. Hal itu akan berdampak pada produktivitas gula yang dihasilkan oleh industri pabrik gula di Indonesia.

Beberapa jenis hama tebu yang penting dan senantiasa menimbulkan kerugian besar adalah : penggerek pucuk, penggerek batang, kutu bulu putih, uret, boktor, ulat grayak, tikus, dan belalang.

Secara biologi, suatu hama mutlak harus diketahui terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan pengendalian. Hal ini perlu agar setiap upaya pengendalian yang dilakukan benar-benar terarah, kena sasaran, efektif dan efisien. Disamping itu, hal lain yang perlu dilakukan sebelum melakukan tindakan pengendalian adalah harus mengetahui terlebih dahulu kondisi serangan di lapangan agar dapat ditentukan teknik/cara dan saat pengendalian yang tepat, serta kebutuhan sarana pengendalian yang diperlukan. Sebenarnya upaya pemantauan/monitoring secara rutin sangat membantu tindakan pengendalian yang terarah, efektif dan efisien.

Tanaman tebu merupakan tanaman yang ekosistemnya lebih stabil, sehingga strategi pengendalian hama dan penyakit seharusnya dapat direncanakan dengan baik. Strategi yang dipilih adalah pengendalian hama secara terpadu (PHT), yakni dengan berdasar pertimbangan ekologi, ekonomi, dan sosiologi (Sudarmo, 1988).

Terdapat empat komponen PHT yaitu pengendalian hama secara budidaya, mekanis, hayati dan kimia (Sudarmo, 1988). Dalam penelitian ini PHT lebih di tekankan ke dalam pengendalian hama secara hayati yaitu melalui penggunaan parasit dan predator yang tersedia di alam bebas.

Jenis hama penggerek batang adalah larva Chilo auricilus yang memakan bagian dalam batang tanaman tebu dengan membentuk lubang-lubang gerek. Hama ini menyerang tanaman tebu pada saat tanaman tebu telah berruas. Hama ini dapat dikendalikan dengan parasitoid larva Lalat Jatiroto (Diatraeophaga striatalis Tns) dan parasitoid telur Trichogramma chilonis sebagai pengendali hayati.

Lalat jatiroto (Diatraeophaga striatalis Tns). Lalat Jatiroto merupakan musuh alami dari hama penggerek batang yang banyak menyerang tanaman tebu. Golongan famili Tachinidae sangat spesifik memparasiti hama penggerek batang tebu. Lalat Jatiroto dapat memparasiti hama Chillo spp. pada stadium larva. Lalat jatiroto meletakkan larvanya pada punggung larva hama penggerek, kemudian larva lalat jatiroto memarasiti (memakan) bagian dalam tubuh hama penggerek tersebut sampai mati dan larva tersebut akan berubah menjadi pupa, imago dan akhirnya menjadi lalat dewasa.

Sedangkan, spesies Trichogramma yang diketahui dapat memarasit telur adalah T. australicum, T. chilotraeae, T. chilonis, T. evanescens, dan Trichogrammatoidea armigera. Di Sulawesi Selatan, spesies Trichogramma yang memarasit telur O. furnacalis adalah T. evanescens. Parasitoid tersebut tersebar di beberapa sentra produksi jagung di Sulawesi Selatan seperti Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Sinjai, Wajo, dan Barru . Pengendalian secara biologis, Trichogramma sp. dilepas ke pertanaman setelah beberapa generasi dalam pembiakan dengan kondisi buatan. Pembiakan massal dapat mempengaruhi sifat-sifat biologis yang penting bagi keberhasilan program pengendalian di lapangan, seperti mencari inang, penerimaan inang, dan adaptasi dengan suhu.

Akan tetapi, hasil perbanyakan D. strialalis di laboratorium tidak sebanyak Trichogramma. Oleh karena ini, perlu diadakan penelitian tentang pengkombinasian penggunaan Lalat jatiroto (Diatraeophaga striatalis Tns.) dan Trichogramma sp. yang ditebarkan ke lahan perkebunan tebu sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman tebu.

C. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

“Bagaimana pengaruh kombinasi waktu pelepasan yang berbeda antara Lalat jatiroto (Diatraeophaga striatalis Tns) dan Trichogramma sp. terhadap persentase kerusakan tanaman tebu yang diakibatkan oleh Chilo auricilus?”

D. TUJUAN

1. Untuk mengembangkan teknik pengendalian hama secara hayati pada perkebunan Tebu dengan menggunakan kombinasi antara parasitoid larva Lalat jatiroto (Diatraeophaga striatalis Tns) dan parasitoid telur Trichogramma chilonis sebagai agen pengendali hayati.

2. Untuk menentukan kombinasi waktu pelepasan antara parasitoid larva Lalat jatiroto (Diatraeophaga striatalis Tns) dan parasitoid telur Trichogramma chilonis yang tepat pada lahan perkebunan Tebu, untuk mengendalikan serangan hama penggerek batang (Chilo auricilus).

E. LUARAN YANG DIHARAPKAN

Dari penelitian ini, hasil yang diharapkan adalah suatu metode atau teknik pengendalian hama secara hayati dengan menggunakan parasitoid atau predator (musuh alami) dari suatu hama. Dalam hal ini adalah pengendalian hama secara hayati pada tanaman Tebu sehingga dihasilkan tanaman Tebu yang sehat dan mengandung kadar gula tinggi yang sangat penting untuk industri pabrik gula.

F. KEGUNAAN

Kegunaan serta manfaat dari penelitian ini secara teoritis adalah untuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang perlindungan tanaman dari hama dengan menggabungkan aspek bioekologis dari suatu ekosistem. Secara aplikasi, penelitian ini dapat dipublikasikan kepada para petani Tebu sehingga dapat meningkatkan pendapatannya.

G. TINJAUAN PUSTAKA

1. Budidaya Tebu

Tebu (Saccharum officinarum linn.) merupakan tumbuhan sejenis rerumputan yang dikelompokan dalam famili Gramineae. Seperti halnya padi dan termasuk katagori tanaman semusim, tanaman tebu tumbuh membentuk anakan, mengelompok dalam bentuk rumpun dan menghasilkan karbohidrat yang begitu tinggi. Berbeda dengan padi yang satu siklusnya 3-4 bulan, tanaman tebu membutuhkan waktu untuk menghasilkan produksi gula mencapai 11-12 bulan, sehingga memiliki biomassa yang cukup tinggi.

Tanaman tebu dapat diusahakan di lahan sawah dan lahan tegalan, yang dikenal dengan kategori tebu sawah dan tebu tegalan. Selain itu, berdasarkan sifat inheren tanaman pada tanaman tebu dikenal dengan kategori tanaman plant cane (PC) dan ratoon (R). Semua kondisi kategori tersebut memili pengaruh terhadap nuansa karakterisasi pertumbuhan tebu (Anonim. 2009).

2. Hama Tanaman Tebu

Dalam usaha perkebunan tebu, pengendalian hama merupakan salah satu penentu keberhasilan usaha selain pemuliaan bibit, pupuk dan irigasi. Hal ini disebabkan oleh keberadaan hama sebagai perusak tanaman sehingga tanaman tidak dapat dipanen. Oleh karena itu, dewasa ini sangat banyak diketahui metode-metode untuk mengendalikan bahkan memberantasnya.

Biologi suatu hama mutlak harus diketahui terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan pengendalian. Hal ini perlu agar setiap upaya pengendalian yang dilakukan benar-benar terarah, kena sasaran, efektif dan efisien. Disamping itu, hal lain yang perlu dilakukan sebelum melakukan tindakan pengendalian adalah harus mengetahui terlebih dahulu kondisi serangan di lapangan agar dapat ditentukan teknik/cara dan saat pengendalian yang tepat, serta kebutuhan sarana pengendalian yang diperlukan. Sebenarnya upaya pemantauan atau monitoring secara rutin sangat membantu tindakan pengendalian yang terarah, efektif dan efisien (Anonim. 2009).

Pengaruh hama terhadap produktivitas tebu sangat signifikan. Penurunan produksi tebu yang diakibatkan oleh serangan hama dapat mencapai 10-50% tergantung intensitas serangannya. Pada kondisi serangan hama tertentu yang sangat parah, dapat mengakibatkan kegagalan panen. Hanya saja, karena serangan hama bersifat epidemik dan terkadang sporadik sering tidak menimbulkan persoalan yang bersifat menyeluruh dan serentak menurunkan produktivitas tebu. Kerusakan tebu akibat serangan hama sering terjadi pada luasan yang terbatas. Namun pada kasus tertentu seperti terjadinya serangan hama belalang di daerah perkebunan tebu Sumatera Selatan, wilayah serangannya cukup luas dan terjadi secara serempak, cukup berpengaruh nyata terhadap penurunan produktivitas lahan. Meskipun demikian, karena persoalan hama sangat mengganggu dan selalu mengkhawatirkan kondisinya di lapang, karena ditakutkan mencapai serangan yang bertambah luas, maka pengendalian hama merupakan salah satu tahap budidaya yang perlu dilakukan (Anonim. 2009).

Beberapa jenis hama tebu yang penting dan senantiasa menimbulkan kerugian besar adalah : penggerek pucuk, penggerek batang, kutu bulu putih, uret dan boktor, ulat grayak, tikus, dan belalang (Anonim. 2009).

2.1. Hama Penggerek Batang (Chilo spp.)

Hama ini merusak dengan cara mengerek batangtebu, dan dapat menyebabkan kerusakan yang serius. Telur diletakkan secara berkelompok berupa dua deret paralel. Satu betina dapat menghasilkan sekitar 80 butir telur. Ulat yang baru menetas ditandai dengan garis transversal merah. Ulat dewasa ditandai dengan empat garis longitudinal dengan bintik dorsal pada segmennya. Kepompongnya dapat dapat dijumpai didekat lubang gerek (Sudarmo, 1989).

2.2. Tanda Serangan Penggerek Batang

Daun tanaman yang terserang terdapat bercak-bercak putih bekas gerekan yang tidak teratur. Bercak putih ini menembus kulit luar daun. Gejala serangan pada batang tebu ditandai adanya lobang gerek pada permukaan batang. Apabila ruas-ruas batang tersebut dibelah membujur maka akan terlihat lorong-lorong gerek yang memanjang. Gerekan ini kadang-kadang menyebabkan titik tumbuh mati, daun muda layu atau kering. Biasanya dalam satu batang terdapat lebih dari satu ulat penggerek (Anonim . 2009)

Setiap persen kerusakan ruas dapat menimbulkan kerugian gula sebesar 0,5%. Telur penggerek batang ini diletakkan pada permukaan atas maupun bawah daun. Biasanya dalam kumpulan yang terdiri dari 7 – 30 telur yang tersusun seperti genting, dalam 2 – 3 baris atau 3 – 5 baris (Anonim . 2009).

Telurnya sering diparasit oleh Telenomus dan Trichogramma. Kadang-kadang jenis Telenomus memarasit sampai 90 % telur. Musuh alami lain adalah Chrysopa. Ulat dan kepompongnya terparasit oleh Campyloneurus arythrothorax Szepl.dari golongan Braconid, Carcelia dan Diatraeophaga, keduanya dari golongan Tachinid dan Xanthopimpla stemator Thnb., Hormiopterus serta Apanteles flavipes (Camp.) (Sudarmo, 1989).

Larva yang baru menetas panjangnya + 2,5 mm, dan berwarna kelabu. Semakin tua umur larva, warna badan berubah menjadi kuning coklat dan kemudian kuning putih, disamping itu warna garis-garis hitam membujur pada permukaan abdomen sebelah atas juga semakin jelas. Larva muda yang baru menetas hidup dan menggerek jaringan dalam pupus daun yang masih menggulung, sehingga apabila gulungan daun ini nantinya membuka maka akan terlihat luka-luka berupa lobang grekan yang tidak teratur pada permukaan daun. Setelah beberapa hari hidup dalam pupus daun, larva kemudian akan keluar dan menuju ke bawah serta menggerek pelepah daun hingga menembus masuk ke dalam ruas batang. Selanjutnya larva hidup dalam ruas-ruas batang tebu. Di sebelah luar ruas-ruas muda yang digerek akan didapati tepung gerek (Anonim. 2009).

Apabila ruas terserang dibelah secara membujur, maka terlihat lorong-lorong gerek yang lebar dan jalannya tidak teratur. Pada satu ruas dapat ditemukan lebih dari satu ekor larva. Kepompong penggerek batang agak keras dan berwarna coklat kehitaman. Kepompong betina biasanya mempunyai badan lebih besar daripada yang jantan. Imago mempunyai sayap dan dada berwarna kecoklatan. Abdomen imago betina biasanya juga lebih besar daripada yang jantan (Anonim. 2009).

3. Pengendalian Hama Penggerek Batang Tebu Secara Hayati

3.1. Lalat Jatiroto sebagai parasitoid larva hama penggerek batang

Lalat jatiroto (Diatraeophaga striatalis Tns) hanya ditemukan di daerah Jatiroto, Lumajang. Lalat ini termasuk ke dalam keluarga Tachinidae. Dalam perkembangannya lalat ini bersifat parasit yang dapat mengendalikan hama (Chilo spp) pada tanaman tebu (Saccharum officinarum) sehingga potensi produktifitas tanaman tersebut dapat tercapai.

Lalat Jatiroto merupakan musuh alami dari hama penggerek batang yang banyak menyerang tanaman tebu. Golongan famili Tachinidae sangat spesifik memparasiti hama penggerek batang tebu.

Serangga anggota ordo Diptera meliputi serangga pemakan tumbuhan, pengisap darah, predator dan parasitoid. Serangga dewasa hanya memiliki satu pasang sayap di depan, sedang sayap belakang mereduksi menjadi alat keseimbangan berbentuk gada dan disebut halter . Pada kepalanya juga dijumpai adanya antena dan mata facet. Tipe alat mulut bervariasi, tergantung sub ordonya, tetapi umumnya memiliki tipe penjilat-pengisap, pengisap, atau pencucuk pengisap. Pada tipe penjilat pengisap alat mulutnya terdiri dari tiga bagian yaitu :
bagian pangkal yang berbentuk kerucut disebut rostum bagian tengah yang berbentuk silindris disebut haustellum bagian ujung yang berupa spon disebut labellum atau oral disc.

Metamorfosenya sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur ---> larva ---> kepompong ---> dewasa. Larva tidak berkaki (apoda), biasanya hidup di sampah atau sebagai pemakan daging, namun ada pula yang bertindak sebagai hama , parasitoid dan predator. Pupa bertipe coartacta. Beberapa contoh anggotanya adalah : lalat buah ( Dacus spp.) lalat predator pada Aphis (Asarcina aegrota F), lalat rumah (Musca domestica Linn.), lalat parasitoid (Diatraeophaga striatalis).

3.2. Trichogramma sp. sebagai parasitoid telur hama pengerek batang

Pengendalian biologis dengan memanfaatkan musuh alami seperti predator, parasitoid, dan patogen. Parasitoid dari famili Trichogrammatidae banyak digunakan dengan teknik inundasi. Hasil inventarisasi musuh alami yang memarasit telur penggerek batang di Sulawesi Selatan yang dominan adalah T. evenescens (Nonci et al., 2000), hal yang sama juga dikemukakan oleh Pabbage Baco (2000). Dalam pengendalian penggerek batang dengan teknik inundasi, T. evanescens dibiakkan beberapa generasi pada telur C. cephalonica, sebelum dilepaskan ke lapangan.

Salah satu sebab pemilihan Trichogrammatidae adalah karena sifatnya yang polifag sehingga dianggap dapat cepat beradaptasi dan dapat mengatasi berbagai jenis hama yang ada di lapangan. Optimalisasi pemanfaatan Trichogramma merupakan salah satu kunci keberhasilan pengendalian hayati yang belum banyak dieksplorasi di Indonesia. Beberapa penelitian yang lalu telah memfokuskan kegiatan pada distribusi dan kelimpahan Trichogramma, keragaman genetik dari daerah geografis berbeda serta berbagai pengujian laboratorium untuk melihat potensi Trichogramma sebagai agens hayati.

Salah satu hal kunci yang belum dikaji secara menyeluruh dalam rangka pengembangan parasitoid sebagai agens hayati adalah kajian ekologi reproduksi. Banyak penelitian dirancang untuk menggali faktor-faktor kunci yang dapat digunakan sebagai landasan dalam memformulasikan strategi pelepasan yang akurat dan mampu memberikan hasil yang signifikan serta tidak merugikan keutuhan keseimbangan agroekosistem.

Secara lebih spesifik, diharapkan bahwa dari penelitian ini dapat diketahui berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan parasitoid Trichogramma sp. dalam mengendalikan populasi serangga hama di lapangan. Tujuan tersebut dicapai dengan melakukan penelitian mengenai ekologi reproduksi di laboratorium serta uji pelepasan inang di lapangan.

Pada tahun ke-1 telah dipelajari beberapa aspek yang mempengaruhi keberhasilan parasitoid Trichogramma pretiosum dilapangan yaitu hubungan antara kepadatan telur inang dengan kemampuan parasitisasi T. pretiosum (tanggap fungsional) dilaboratorium pada suhu 18 oC, 25 oC dan 30 oC, pengaruh ketiadaan inang pada produksi telur, lama hidup dan lama reproduksi, serta pengaruh pakan dan inang terhadap kebugaran T. pretiosum. Hasil penelitian menunjukkan tanggap fungsional dilaborotorium pada suhu yang berbeda menunjukkan Tipe tanggap fungsional yang berbeda. Tanggap fungsional dilaboratorium pada suhu 25 oC adalah tanggap fungsional Tipe II, dan Tanggap Fungsional pada suhu 18 oC dan 30 oC adalah tipe III (Darmayanti dkk. 2005).

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kepadatan inang dan laju parasitisasi (tanggap fungsional) Trichogramma pretiosum. Parasitisasi T. pretiosum pada suhu 25 oC, tampak lebih tinggi dibandingkan pada suhu 18 oC dan 30 oC. Penelitian ketiadaan inang sangat mempengaruhi kemampuan T. pretiosum dalam memproduksi telur. Pengaruh ketiadaan inang terhadap lama hidup dan lama reproduksi sangat berfluktuasi., selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pakan dan inang terhadap kebugaran T. pretiosum sangat berpengaruh, ketersediaan inang dan pakan secara bersamaan dapat meningkatkan kebugaran parasitoid (Darmayanti dkk., 2005).

Aspek penelitian pada tahun kedua meliputi Studi pengaruh jumlah betina awal terhadap beberapa karakter kebugaran (nisbah kelamin, keperidian dan lama reproduksi) dan pengaruh ukuran tubuh dan fluktuasi asimetri pada keberhasilan parasitisasi dilapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jenis inang mempengaruhi kemampuan parasitisasi di awal pelepasan. T. pretiosum yang dikembangbiakan pada inang C. cephalonica lebih cepat memarasit. Ukuran imago T. pretiosum yang dikembangbiakan pada inang C. cephalonica relatif lebih besar daripada ukuran inang imago T. pretiosum yang dikembangbiakan pada telur inang H. Armigera. Di lapangan, T. pretiosum menyebar ke segala arah. Pada 1 jam pertama T. pretiosum sudah mampu menempuh jarak 2 m. Semakin besar ukuran sayap maka semakin jauh pula jarak yang dapat ditempuh. Lama generasi mempengaruhi kebugaran (penurunan keperidian dan lama hidup) tidak ada pengaruh jumlah betina penemu terhadap fitness secara umum . Lama generasi dan jumlah betina awal tidak mempengaruhi keragaman genetik parasitoid. Ukuran sayap dapat digunakan sebagai indikator dispersal, sedangkan tibia tidak. Kemampuan dispersal dan parasitisasi dipengaruhi oleh ukuran sayap (Darmayanti dkk., 2005).

Individu kecil cenderung untuk memparasit inang disekitar tempat parasitoid muncul, individu besar cenderung untuk terbang lebih jauh pembagian niche untuk mengurangi kompetisi. Ukuran inang akan mempengaruhi keberhasilan pengendalian hayati. Pada tahun ke III penelitian difokuskan pada kegiatan percobaan di lapangan yang mencakup empat topik utama, yaitu (1) studi awal keanekaragaman parasitoid pada lahan tanaman kedelai, (2) uji tanggap fungsional parasitoid di lapangan, (3) Pemantauan (monitoring) eksistensi parasitoid yang dilepaskan, (4) uji dampak pelepasan terhadap serangga non target. Pada studi keanekaragaman parasitoid telur, kami menemukan enam jenis parasitoid, yaitu Trichogrammatoidea armigera, T toidea cojuangcoi, Trichogramma chilonis, T. japonicum, Trichogramma sp., dan Telenomus remus (Darmayanti dkk., 2005).

Struktur komunitas parasitoid berubah mengikuti pertumbuhan tanaman. Pada topik yang ke-2, kegiatan dikonsentrasikan untuk melihat hubungan antara kepadatan inang dan kemampuan parasitisasi parasitoid T. pretiosum dilapangan (tanggap fungsional dilapangan). Hasil percobaan menunjukkan terdapat hubungan antara kepadatan telur dengan jumlah telur terparasit. Pada pelepasan 1,3,4 dan 5 diperoleh tanggap fungsional Tipe II. Pelepasan ke-2 menunjukkan tipe tanggap fungsional tipe III. Hasil dari monitoring parasitoid yang dilepas parasitoid T. pretiosum bertahan sampai 9 MST setelah itu tidak terlihat keberadaan parasitoid. Penelitian ini juga memperlihatkan tidak adanya indikasi bahwa parasitoid yang dilepaskan menyerang telur-telur serangga yang lain (non target) (Darmayanti dkk., 2005).

Trichogramma japonicum merupakan salah satu agen pengendalian hayati yang potensial terhadap beberapa hama dari ordo Lepidoptera, untuk memperbanyak T. japonicum diperlukan inang lain, antara lain Corcyra cephalonica (Susniahti, Nenet dan Agus Susanto. 2009).